Pemilu Parlemen 19 Desember 1999
Parties and coalitions | Votes | % | Seats |
| 24.29 | 90 | |
| 23.32 | 84 | |
| 13.33 | 45 | |
| 8.52 | 32 | |
| 5.93 | 21 | |
| 5.98 | 17 | |
independents |
|
| 154 |
repeat election required |
|
| 8 |
vacant |
|
| 1 |
against all |
| 3.3% | - |
Invalid votes |
| 1.2% | - |
Total (turnout 61.6%) |
|
| 450 |
Registered voters |
|
|
|
- No. 1761 "On the Exercise of the Powers of RF President". From 12.00, he resigned the office of RF President, vesting the duties of acting President in the Chairman of the RF Government.
- No. 1762 "On the Acting RF President". From 12.00, V.Putin was authorized to assume the duties of acting RF President.
- V.Putin signed Decree No. 1763 "On Guarantees to the RF President Resigning from Office and to Members of His Family". The document provides for legal, social and other guarantees. The President is entitled to a lifelong money allowance in the amount of 75% of his monthly pay, a state guard, medical services, use of a state dacha, and immunity from prosecution.
Pemilu Presiden 2000
A total of 33 candidates were nominated, 15 submitted the application forms to the Central Electoral Committee, and ultimately 12 candidates were registered. One of them withdrawn shortly before the deadline, so there were 11 candidates that took part in the elections: Vladimir Putin, Gennady Zyuganov, Grigory Yavlinsky, Amangeldy Tuleyev, Vladimir Zhirinovsky, Konstantin Titov, Ella Pamfilova, Stanislav Govorukhin, Yury Skuratov, Alexander Podberyozkin and Umar Dzhabrailov.
Candidates | Nominating parties | Votes | % |
| 39,740,467 | 52.94 | |
21,928,468 | 29.21 | ||
4,351,450 | 5.80 | ||
| 2,217,364 | 3.84 | |
2,026,509 | 2.70 | ||
| 1,107,269 | 1.47 | |
For civil dignity | 758,967 | 1.01 | |
| 328,723 | 0.44 | |
| 319,189 | 0.43 | |
| 98,177 | 0.13 | |
| 78,498 | 0.10 | |
1,414,673 | 1.88 | ||
TOTAL | 74,387,754 | 100.00 |
Kabinet Federasi Rusia 2000—2004
Minister | Period of office |
Prime Minister |
|
Viktor Khristenko (acting) |
|
Deputy Prime Minister |
|
Deputy Prime Minister |
|
Deputy Prime Minister |
|
Deputy Prime Minister, Minister of Finance |
|
Deputy Prime Minister, Minister of Agriculture |
|
Minister for Antimonopoly Policy and Support of Entrepreneurship |
|
Minister of Atomic Energy |
|
| |
Minister of the Interior |
|
| |
Rashid Nurgaliyev (acting) |
|
Minister of Emergencies |
|
Minister of Mass Media |
|
Minister of Federal, Ethnic and Migration Policy |
|
Minister of Ethnic Policy |
|
Minister of Health |
|
Minister of Property Relations |
|
Minister of External Affairs |
|
Minister of Culture |
|
Minister of Taxes |
|
Minister of Defence |
|
| |
Minister of Education |
|
Minister of Natural Resources |
|
| |
Minister of Industry, Science and Techologies |
|
| |
Andrey Fursenko (acting) |
|
Minister of Railways |
|
| |
Minister of Telecommunications and Informatization |
|
Minister of Transport |
|
Minister of Labor and Welfare Development |
|
Minister of Economic Development and Trade |
|
Minister of Energy |
|
| |
Minister of Justice |
|
Minister – Chief of Staff of the Government |
|
| |
Minister for the Chechen Republic |
|
|
Kronologi
Yeltsin mulai menyadari beratnya tanggung jawab yang ia pikul sendiri untuk menyelesaikan permasalahan di atas, terutama setelah krisis ekonomi 1998. Yeltsin kemudian memberikan sebagian kekuasaannya kepada perdana menteri yang pada saat itu dijabat Yevgeny Primakov. Inilah pertama kali kekuasaan negara tidak lagi menjadi monopoli presiden. Perdana menteri menjadi pejabat yang bertanggung jawab atas kondisi politik dan ekonomi dalam negeri, sedangkan presiden memainkan peran yang lebih minimalis, yakni hanya sebagai pelindung.[1] Ketika kinerja Primakov dinilai kurang memuaskan, Yeltsin menunjuk Sergei Stepashin sebagai perdana menteri baru pada bulan Mei 1999. Stepashin pun tidak dapat memuaskan Yeltsin selama tiga bulan masa jabatannya. Akhirnya, pada bulan Agustus, Yeltsin memilih Putin untuk menduduki jabatan perdana menteri dan sekaligus penerus kekuasaan Yeltsin. Tetapi, jabatan perdana menteri tidak lama disandang Putin karena pada tanggal 31 Desember 1999 Yeltsin mengundurkan diri dari jabatan presiden dan Putin langsung menjabat acting presiden yang bertugas mempersiapkan pemilu presiden dalam kurun waktu tiga bulan. Putin tampil sebagai salah satu calon terkuat presiden pada pemilu tahun 2000. Dalam masa kampanye, Putin mengangkat isu keamanan seputar Perang Chechnya, reformasi ekonomi, dan retorika patriotis untuk mendapatkan dukungan.[2]
Putin memperoleh kemudahan untuk memenangi pemilu presiden tahun 2000. Pertama, ia telah dipersiapkan oleh Yeltsin sebagai calon presiden yang didukung penuh oleh Kremlin meskipun ia sama sekali minim pengalaman dalam bidang politik dan adminsitrasi publik tingkat nasional. Untuk menaikkan popularitas Putin, Yeltsin segera turun dari jabatan sebelum masa kepemimpinannya berhasil. Hal ini memberikan peluang bagi Putin untuk memperlihatkan kemampuannya dalam mengelola sistem tata negara, khususnya dalam masa transisi yang sulit. Kedua, Putin berhasil memanfaatkan Perang Chechnya sebagai alat propaganda untuk menaikkan tingkat popularitasnya di mata publik. Putin berhasil menciptakan kembali stabilitas dan rasa aman dalam negeri dengan menekan laju pergerakan pejuang separatis Chechnya. Tindakan ini tergolong beresiko karena dalam peristiwa peledakan bom di apartemen Moskwa dan serangan separatis Chechnya di Dagestan, tidak sedikit rakyat sipil menjadi korban. Dua peristiwa ini langsung mendapat dukungan dari publik yang menantikan hadirnya seorang pemimpin yang tangguh.[3]
Minimnya pengalaman politik Putin dan besarnya ekspektasi masyarakat terhadap seorang figur pemimpin yang tangguh membuat Putin dapat dengan leluasa menentukan visi dan pondasi politiknya. Di satu sisi, Putin berusaha untuk kembali ”berdamai” dengan Barat dengan jalan menciptakan tatanan sosial dan politik yang demokratis dan menerapkan sistem ekonomi pasar. Di sisi lain, Putin berusaha membangkitkan kembali kejayaan bangsa Rusia yang sempat hancur akibat krisis sosial, politik, dan ekonomi selama dekade 1990-an. Hal ini dinyatakan Putin dalam pidato sambutannya sesaat setelah ia resmi dilantik sebagai presiden kedua Republik Federasi Rusia. Dalam pidatonya, Putin menghimbau masyarakat Rusia untuk tidak melupakan sejarah masa lalu bangsa Rusia yang penuh dengan kejayaan. Bersamaan dengan itu, ia akan berusaha memimpin Rusia untuk mengembalikan kejayaannya sebagai bangsa yang makmur, sejahtera, beradab, kuat, tangguh, dan besar.
Kebijakan-Kebijakan dalam Negeri
- Reformasi Birokrasi di bawah payung hukum (dictatorship of law): penciptaan garis kekuasaan vertikal dengan pemusatan kekuasaan di tangan presiden; menciptakan tujuh distrik baru yang mebawahi 89 negara bagian, masing-masing kepala distrik ditunjuk langsung oleh presiden; revitalisasi institusi Kejaksaan Agung (General Prosecutor) dengan menempatkan institusi ini di masing-masing negara bagian.
- Reformasi Ekonomi: renasionalisasi aset-aset vital yang telah dimiliki swasta
- Reformasi Perpajakan: menurunkan pajak perusahaan dari 4 persen menjadi 1 persen dan pajak daerah dari 12 sampai 30 persen menjadi rata 13 persen. Untuk mendorong pengusaha agar mau membayar pajak
- Penangkapan dan interogasi terhadap pengusaha-pengusaha kaya yang dianggap mangkir dari kewajiban membayar pajak: Khodorkovsky (Yukos) dan Gusinsky (Media Most) ditangkap; Vladimir Potanin, pemilik perusahaan tambang nikel Norilsk Nickel; Mikhail Fridman dan Pyotr Aven, pemilik Tyumen Oil Company (TNK) yang merupakan anak perusahaan Alfa Group; Vagit Alekerov, pemilik LUKoil; Vladimir Khadannikov, pemilik perusahaan otomotif Avtovaz; Boris Berezovsky, pemilik Aeroflot; Anatoly Chubais, pemilik perusahaan listrik Unified Energy System (UES); Roman Abramovich, pemilik perusahaan minyak Sibneft. Namun, beberapa nama lolos dari jeratan hukum akibat kedekatan hubungan mereka dengan Kremlin. Tujuan dari pemeriksaan, penangkapan, dan penahanan para pengusaha kaya bermasalah adalah untuk memberikan efek jera kepada pengusaha lain yang memiliki aset dalam jumlah besar.
- Pengawasan terhadap kebebasan pers
Sasaran utama Putin begitu terpilih sebagai presiden Rusia adalah penciptaan sistem birokrasi negara terpusat demi memudahkan pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan penting yang mendesak. Sebelumnya telah disebutkan bahwa berbagai kebijakan Putin untuk menciptakan pemerintahan yang solid cenderung berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. Tetapi, langkah-langkah pragmatis harus ditempuh demi menjaga integritas negara dan jika tidak ingin kekacauan sosial di masyarakat terus berlarut-larut. Jika stabilitas dapat dicapai dan terus dipertahankan diikuti dengan kondisi perekonomian negara semakin membaik, maka Rusia perlahan-lahan akan menjadi negara maju yang setara dengan negara-negara Barat.
Kebijakan-Kebijakan Luar Negeri
”The independence of our foreign policy is in no doubt. The foundation of this policy is pragmatism, economic effectiveness, and priority of national task.”[4] Dalam merumuskan kebijakan-kebijakan luar negerinya, Putin menaruh perhatian besar pada persoalan geopolitik dan sistem politik dunia multikutub. Konsep Kebijakan Luar Negeri Federasi Rusia yang dirilis tanggal 28 Juni 2000 menggantikan konsep yang lama tahun 1993. Konsep ini menekankan pentingnya peran Rusia dalam dua wilayah: regional dan global. Sedangkan bidang yang menjadi perhatian pemerintahan Putin dalam hubungan luar negeri di dua wilayah berbeda ini adalah keamanan, ekonomi, politik, hak asasi manusia, dan sistem informasi. Secara keseluruhan, Rusia menerapkan pola-pola kebijakan luar negeri yang konstruktif dan independen yang berdasarkan pada prinsip konsistensi, perkiraan, dan hubungan pragmatis yang saling menguntungkan.
1. Regional
Fokus utama kebijakan luar negeri Rusia pada pemerintahan Putin seperti tertulis dalam Konsep Kebijakan Luar Negeri Federasi Rusia adalah “penguasaan kembali” wilayah Eurasia: CIS, Asia Tengah, Kaspia, Kaukasus. Pada tingkat regional, Rusia menyadari besarnya peranan yang dimainkannya di wilayah Eurasia. Rusia sebagai kekuatan besar di wilayah ini merasa perlu untuk menjaga stabilitas kawasan. Hal ini mutlak diperlukan karena Rusia berusaha menjaga dan mempertahankan hubungan baik dengan negara-negara di wilayah Asia Tengah yang kaya akan cadangan energi. Eurasia adalah bentangan wilayah yang meliputi daerah kekuasaan Uni Soviet. Rusia pasca-Soviet tetap menjaga keutuhan wilayah ini dengan membentuk CIS (Commonwealth Independent States), yang anggotanya merupakan negara-negara eks-Uni Soviet, kecuali tiga negara Balkan (Latvia, Estonia, dan Lithuania) dan Georgia.
Langkah Putin menjadikan Rusia sebagai salah satu ”kekuatan baru” dalam sistem dunia multipolar dimulai dengan reformasi internal, terutama bidang ekonomi, rule of law, dan sistem birokrasi. Putin sepertinya menyadari kelemahan yang sedang diderita Rusia setelah melewati krisis di dekade 1990-an. Sistem internasional pasca-Perang Dingin pun tidak lagi didominasi pamer kekuatan militer yang terbuka dan penguasaan wilayah tetapi lebih banyak berputar di bidang ekonomi, teknologi, budaya, sosial, dan terutama sistem informasi (Tuathail dan Dalby 1998: 2—3). Putin menaruh perhatian besar pada reformasi bidang ekonomi dengan tujuan menjadikan Rusia sebagai magnet ekonomi bagi negara-negara bekas Uni Soviet.
Beberapa kerjasama dalam bidang keamanan yang pernah dibentuk Rusia dengan negara-negara CIS adalah Collective Security Treaty (CST) tahun 1992 antara Rusia, Belarusia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Armenia; CST kemudian bertransformasi menjadi Collective Security Treaty Organization (CSTO) pada tahun 2002. Secara umum, pembentukan berbagai organisasi di wilayah CIS adalah sebagai bentuk antisipasi terhadap kehadiran pengaruh AS dan perluasan NATO di wilayah.
2. Global/Internasional
Putin merevisi konsep kebijakan luar negeri Yeltsin yang pernah disahkan pada tahun 1993. Dalam konsep yang baru—disahkan pada tanggal 28 Juni 2000—Putin semakin menegaskan visi, misi, dan strategi kebijakan dan politik luar negeri Federasi Rusia. Konsep ini juga menjadi pedoman bagi formulasi dan tindakan politik luar negeri Rusia dalam sebuah sistem dunia yang telah mengalami perubahan. Perang Dingin telah menciptakan pola-pola baru hubungan antar-negara. Dalam sistem baru tersebut, berbagai tantangan tetap berada di depan Rusia karena adanya usaha kekuatan dunia lain (AS dan NATO) untuk meminggirkan Rusia dari sistem. Konsep ini jelas menyebut AS sebagai seteru utama Rusia. Tetapi, Putin dalam berbagai tindakan politik luar negerinya berusaha meminimalisasi terjadinya konflik terbuka Rusia dengan Barat. Langkah-langkah inilah yang dikategorikan sebagai prinsip pragmatis dalam konsep dan tindakan politik luar negeri Putin. Sedangkan cara pandang Rusia terhadap sistem dunia baru dengan usaha Barat meminggirkan Rusia dan usaha Putin untuk masuk dalam ”peradaban barat” disebut sebagai realisme baru (Sakwa 2008).
[1] Lilia Shevtsova, “From Yeltsin to Putin: Evolution of Power,” Gorbachev, Yeltsin, and Putin Political Leadership in Russia’s Transition, eds, Archie Brown and Lilia Shevtsova, (Washington: Carnegie Endowment for International Peace, 2001), hal. 86.
[2] Thomas M. Nichols, The Russian Presidency, (New York: St. Martin’s Press, 1999), hal. 168.
[3] Brown, Op. Cit., hal. 91.
[4] Ibid.
No comments:
Post a Comment