TEORI EVOLUSI & DOKTRIN KREASI
Pengantar
Salah satu topik yang hangat diperdebatkan pada zaman modern ini ialah pertanyaan bagaimana kehidupan ada di atas dunia ini. Ada dua pilihan dasar: (1) melalui proses yang lambat dan alamiah (teori evolusi) atau (2) melalui perintah Penciptaan versi Alkitab (doktrin penciptaan). Pertanyaan utamanya: berapa lama kehidupan ada di atas planet ini dan siapakah penyebab utamanya? Pertanyaan-pertanyaan itu mengajak kita untuk memahami sejauhmana paradigma iptek modern berhadapan dengan paradigma teologi. Bagaimanakah sepatutnya kita menilai dan menempatkan teori evolusi ilmiah ketika diperhadapkan dengan doktrin penciptaan alkitabiah? Paparan berikut ini menguraikan persoalan tersebut dan menjelaskan sikap yang perlu dikembangkan berkaitan dengan pokok bahasan tentang relasi teologi dan iptek.
Revolusi Pengetahuan
Sampai pada abad ke-16 M. garis-garis besar gambaran alkitabiah atau teori kreasi versi alkitab tentang dunia ini masih dianggap memuaskan oleh orang-orang Kristen di dunia Barat. Selama itu yang berlaku adalah pemahaman Ptolemaius (sentralitas dan immobilitas bumi) dan dalam perkembangannya yang kemudian mendapat pengaruh dari filsafat Aristoteles dan gambaran dunia alkitabiah (Kejadian 1). Kombinasi pemahaman Ptolemaistik-Aristotelian-alkitabiah mendapat goncangan setelah munculnya karya Copernicus, De Revolutionibus Orbium Caelestium (1543). Copernicus mengemukakan bahwa sebenarnya bumilah yang beredar mengelilingi matahari sebagai pusat. Pandangan Copernicus ini merupakan dugaan yang timbul dari ketidakpuasan dalam menghitung peredaran planit-planit secara matematis.
Goncangan berikutnya, yang jauh lebih hebat daripada goncangan pertama, diakibatkan oleh Charles Darwin. Sampai pada bagian pertama abad ke-19 orang-orang Kristen di Barat menerima teori bahwa jenis-jenis (spesies) yang sepasang-sepasang berasal langsung dari sang Pencipta. Teori ini menjelaskan kekhasan setiap jenis dalam tata tertib yang diciptakan ini dan bersesuai dengan apa yang dikemukakan oleh kitab Kejadian. Sebelum Darwin sudah ada beberapa orang yang mulai meragukan teori ini, yang disebabkan oleh penemuan fosil-fosil dan penyelidikan tentang umur bumi. Berkat usaha Lyell, orang mengetahui bahwa umur bumi sebenarnya jauh lebih tua daripada apa yang selama ini dipercaya secara teologis, bahwa penciptaan terjadi pada 4000 sM. Dalam jangka waktu yang lama terjadilah perkembangan yang menuju pada keadaan bumi seperti pada waktu sekarang ini. Teori evolusi tentang umur bumi mengakibatkan perubahan pandangan di bidang-bidang lain, seperti sastra, filsafat dan biologi.
Tidak hanya Lyell, seorang sarjana Perancis J.B. de Lamarck merupakan orang pertama yang secara tegas menyatakan bahwa kehidupan berkembang dari tumbuh-tumbuhan menuju binatang, dan dari binatang menuju manusia. Namun pandangannya pada waktu itu belum mendapat banyak perhatian. Pandangan radikal tentang teori evolusi mencuat lewat karya Charles Darwin (1809-1882) dalam bukunya Origin of Species (1859) yang memberikan banyak sekali bukti-bukti tentang kebenaran teori evolusi dan memperkenalkan prinsip seleksi alam (natural selection) dalam biologi. Darwin sendiri tidak secara khusus menolak adanya Pencipta ketika memperkembangkan teori evolusinya (natural selection).
Teori Evolusi
Darwin adalah ahli zoologi, yang menelaah pengalaman dari pemelihara-pemelihara burung merpati di Inggris. Ternyata dengan cara pemeliharaan yang berencana dan tekun mereka berhasil memperoleh burung merpati yang jenisnya amat berbeda dari jenis semula. Darwin mengambil kesimpulan bahwa apa yang dapat dicapai manusia dengan cara berencana, dapat pula tercapai oleh alam sendiri dengan cara seleksi alam. Darwin berpandangan bahwa dalam perjuangan hidup (struggle of life) hanya hewan paling ulet yang paling mampu menyesuaikan diri dengan keadaan iklim dan suasana sekitarnya. Merekalah yang berhasil mempertahankan kelangsungan hidupnya (survive). Hewan itu cukup punya kelincahan dan keluwesan untuk berubah sedikit (secara biologis) jika iklim dan kekerasan hidup menuntutnya. Turunan dari hewan yang biologis kuat ini terus menerus mengalami perubahan sedikit. Perubahan-perubahan yang berlangsung selama jutaan tahun itu akhirnya mengakibatkan timbulnya berbagai jenis binatang yang masing-masing sangat berbeda dengan variasi yang berlipat ganda. Darwin merumuskan pengalaman-pengalaman dan kesimpulan-kesimpulan di atas, dalam suatu pokok pandangan bahwa: semua jenis binatang berasal dari satu sel purba. Selanjutnya, Darwin mempertajam pandangannya lewat buku keduanya yang menghebohkan dunia, dengan judul ”The Descent of Man” (Asal Usul Manusia) yang terbit tahun 1871. Dalam bukunya ini, Darwin menerapkan teorinya dalam perkembangan binatang-binatang menuju manusia. Binatang yang paling maju, yaitu kera, dengan mengalami proses perjuangan hidup, sedikit demi sedikit berubah dan dalam jenisnya yang paling sempurna, mengarah menuju wujud kemanusiaan. Binatang menjadi manusia.
Penemuan fossil Manusia Neanderthal (1856) memperkuat pandangan Darwin. Fossil Manusia Neanderthal adalah tengkorak semacam manusia yang diperkirakan pernah hidup kira-kira 100.000 tahun yang lalu, yang ditemukan di diperkirakan pernah hidup kira-kira 100.000 tahun yang lalu, yang ditemukan disebuah lembah dekat Dusseldorf, Jerman Barat. Yang menyolok pada tengkorak itu adalah bentuk dahi yang rendah, menjorok mundur dengan lengkungan besar di atas mata, serta tanpa dagu. Manusia Neanderthal menyerupai baik kera maupun manusia, tetapi tetap harus ditafsirkan sebagai manusia yang berdiri tegak. Dekat tengkorak itu ditemukan pula perkakas-perkakas kerja yang primitif. Teori Darwin ini dikembangkan lebih lanjut oleh seorang sarjana ilmu pengetahuan alam dari Jerman, yakni Ernst Heinrich Haeckel (1834-1919). Berbeda dengan Darwin yang berpandangan bahwa sel-sel purba diciptakan oleh Tuhan, Haeckel menolak teori kreasi sama sekali. Dunia ini menurut Haeckel adalah kekal, tak ada permulaan, dan hidup tercipta dengan sendirinya secara mekanis. Demikian juga halnya dengan manusia. Atas pengaruh Haeckel timbullah kebiasaan untuk menyamaratakan manusia dengan kera, melalui ungkapan dangkal ”manusia berasal dari kera”.
Tantangan terhadap Kekristenan
Pandangan Darwin langsung menantang keyakinan Kristen tradisional. Pertama, tantangan untuk pembacaan harfiah Alkitab: proses evolusi yang lambat dan gradual tidak dapat didamaikan dengan kisah penciptaan ilahi dalam tujuh hari (Kejadian 1). Kedua, tantangan langsung terhadap martabat manusia: secara tradisional kekristenan memandang manusia berbeda dengan makhluk lain secara fundamental karena jiwa mereka abadi, karena mereka diciptakan ”dalam citra Allah” dan karena perbedaaan rasionalitas manusia yang unik. Ketiga, tantangan terhadap desain dan tujuan ilahi: Darwin berhasil menunjukkan bahwa adaptasi dapat dijelaskan dengan proses variasi dan seleksi alam yang berjalan tanpa sosok tertentu. Keempat, tantangan terhadap gagasan Kristen tentang Allah: teori evolusi melalui seleksi alam akan memusnahkan setiap pembedaan sederhana dan mudah tentang apa itu ”natural” dan ”apa itu super natural”.
Kaum fundamentalis Kristen berdiri pada barisan terdepan menolak teori evolusi Darwin. Mereka berpendapat bahwa (1) Alkitab bukanlah buku teks ilmiah dan tujuannya bukan untuk memperlihatkan kebenaran-kebenaran ilmiah, melainkan menyatakan kehendak dan maksud Allah bagi manusia; (2) bumi berumur 6000 tahun; (3) Kejadian 1 adalah karya sastra yang agung dimana ilmu pengetahuan tidak dapat menumbangkannya; (4) teori evolusi tidak membuktikan apapun terhadap kebenaran-kebenaran Alkitab.
Doktrin Kreasi/Penciptaan: tinjauan alkitabiah
Doktrin penciptaan tidak boleh dikacaukan atau disamakan dengan teori ilmiah tentang asal usul. Maksud doktrin ini bersifat etis dan keagamaan, bertentangan dengan sifat penelitian ilmiah. Doktrin penciptaan tidak hanya dicatat dalam pasal 1 kitab Kejadian tetapi dapat dibaca juga dalam kitab nabi Yesaya 40:26, 28; 42:5; 45:18; Yeremia 10:12-16; Amos 4:13; Mazmur 33:6,9; 90:2; 102:25; Ayub 38:4; Nehemia 9:6; Yohanes 1:1; Kisah Para Rasul 17:24; Roma 1:24-25; 11:36; Kolose 1:16; Ibrani 1:2; 11:3; dan Wahyu 4:11; 10:6.
Doktrin penciptaan merupakan pernyataan iman orang percaya bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya seperti yang dikatakan surat Ibrani 11:3, ”Karena iman kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh Firman Allah.” Ini berarti, bahwa ajaran Alkitab tentang penciptaan didasarkan atas penyataan atau wahyu ilahi, dan dapat dimengerti hanya berdasarkan iman. Inilah yang membedakan secara tajam pendekatan Alkitab dengan pendekatan ilmiah. Jadi Kejadian 1 tidak dapat dijadikan referensi ilmiah tentang bagaimana dunia dijadikan, melainkan untuk menunjuk bahwa Tuhan adalah Pencipta dan mengajak orang beriman untuk mempercayakan hidupnya kepada Tuhan Allah. Doktrin Penciptaan alkitabiah menyebutkan bahwa Allah menciptakan dengan firmanNya. Penelitian lengkap menyimpulkan bahwa terdapat variasi menyangkut kisah Penciptaan, yakni: (1) penciptaan melalui tindakan; (2) penciptaan melalui generasi dan kelahiran; (3) penciptaan melalui konflik; dan (4) penciptaan melalui fiman. Jelas bahwa kisah penciptaan melalui Firman hanyalah salah satu dari beragam kisah penciptaan tentang alam semesta dan manusia.
Kisah penciptaan dalam Kejadian 1:1-2:3 dapat dikategorikan bercorak puisi yang ditulis pengarang (yang diasumsikan sebagai Musa) yang diilhami Roh Allah dengan tujuan menyatakan bahwa Allah sebagai Pencipta yang Mahakasih. Penting untuk diperhatikan bahwa peran Allah sebagai Pencipta tidak dapat dipisahkan dari perjanjianNya dan penebusanNya. Karena itu dapat dikatakan bahwa Allah tidak hanya berhenti mencipta pada peristiwa tertentu tetapi tetap mencipta secara berkelanjutan (creatio continua) dimana Allah bertanggungjawab memelihara dan menopang ciptaanNya sampai sekarang. Jelas doktrin Penciptaan menolak paham bahwa Allah tidak lagi berhubungan sama sekali dengan ciptaanNya (deisme) dan paham bahwa Allah dapat disamakan dengan ciptaan (panteisme).
Penggunaan kata kerja Ibrani bara (mencipta) dalam kitab kejadian 1 mengandung makna bahwa tak ada sesuatupun di dunia ini yang bisa disamakan dengan Allah, dan bahwa dunia inipun sama sekali bukan musuh Allah. Dunia dan segala isinya, termasuk manusia adalah bagian dari ciptaan Allah. Riwayat penciptaan dimana Allah mencipta dalam 6 hari tidak dimaksudkan secara kronologis, tetapi hanya untuk meneguhkan kenyataan bahwa Allah saja yang menjadikan segala sesuatu. Sekalipun manusia sangat berdekatan dengan alam binatang, namun perbedaan utamanya bahwa manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupaNya. (Kej 1: 27). Manusia adalah tiruan Allah seperti aslinya.
Iman dan Iptek: Bagaimanakah seharusnya?
Teori evolusi Darwin telah mengakibatkan tantangan serius bagi kekristenan. Penelitian historis membuktikan bahwa relasi sains dengan teologi sepanjang abad ke-19 dan ke-20 bukan hanya berupa ”peperangan” atau konflik. Claude Welch, seorang sejarawan dan teolog menyebutkan tiga jenis respons terhadap sains, yaitu: (1) oposisi; (2) mediasi yang dilakukan dengan hati-hati atau akomodasi; dan (3) pengagungan evolusi atau asimilasi.
Saya berpendapat bahwa teori evolusi tidak serta merta mengganggu kehidupan beriman kita. Hasil penelitian ilmiah, termasuk teori evolusi selain memperluas wawasan kita, juga dapat menambah keyakinan kita tentang Allah dan perbuatanNya dan sekaligus menolong kita dalam memperjelas penafsiran Alkitab dalam studi teologi (misalnya, bumi yang berputar mengelilingi matahari), Jadi Alkitab dan ilmu pengetahuan dapat menjadi sumber pengetahuan bagi kita tentang karya Allah dalam dunia ini.
Tentunya bukan berarti teori evolusi dianggap sebagai metode Allah menciptakan segala sesuatu dan menggantikan doktrin penciptaan alkitabiah. Sebab jika demikian maka kita menolak fakta iman bahwa Allah tetap mencipta, memelihara dan menopang ciptaanNya sampai sekarang, serta membenarkan teori seleksi alam bahwa yang kuatlah yang dapat hidup. Punahnya spesies-spesies tertentu, seperti dinosaurus dan ditemukannya fosil manusia purba sebagaimana laporan penelitian ilmiah mutakhir, bukan berarti kekristenan (agama) harus menutup diri, melainkan melakukan pembacaan ulang (reinterpretasi) Alkitab secara kritis dalam rangka memuliakan Allah. Pembacaan ulang Alkitab secara kritis justru membangun kehidupan iman yang relevan dengan konteks. Selain itu, dialog lintas ilmu dapat memberi gambaran lengkap bagi penafsiran teologi kita.
Jika teori evolusi berkesimpulan bahwa manusia adalah turunan monyet, maka saya berpendapat hasil kesimpulan ilmiah ini tidak dapat diaminkan 100 % keakuratannya, terlebih lagi bagi kehidupan beriman kita. Para peneliti ilmiah hanya dapat merekonstruksi hasil temuannya dari kehidupan yang sudah punah (fossil) dan tidak dapat memastikan dengan tepat bahwa sejatinya manusia adalah keturunan monyet. Kita dapat menolak teori ini karena berlawanan dengan keyakinan iman kita, sebab manusia adalah ciptaan Allah yang dimahkotai dengan kemuliaanNya (Mzm 8:1-10).
Penolakan ini merupakan sikap kritis dengan tetap terbuka dalam memandang kebenaran-kebenaran Alkitab dan pengetahuan ilmiah sebagai yang saling melengkapi (komplementer). Keduanya tidak perlu dipertentangkan dan tidak juga harus dipisahkan secara tajam. Sekalipun keduanya berbeda dalam penjelasan, berbeda dalam metodologi dan berbeda dalam tujuannya, tetapi keduanya dapat saling melengkapi. Tidak pada tempatnya lagi untuk mengutuk hasil penelitian ilmiah sebagai sesat, karena Alkitab adalah pernyataan iman dalam bahasa religius dan bukan buka pegangan bagi ilmu pengetahuan (handbook of science). Tentu diharapkan juga bahwa para ilmuwan menyadari batas-batas keilmuannya, sehingga tidak mengklaim bahwa dunia ini tidak diciptakan Allah. Superioritas ilmu pengetahuan tidak menjamin bahwa realitas dapat diketahui secara lengkap, termasuk keberadaan dan kehadiran Allah Pencipta, Pemelihara dan Penopang seluruh ciptaan. Akhirnya, keterbukaan dan penghargaan terhadap kebenaran ilmu pengetahuan dalam menyelidiki alam semesta, justru memperbesar penghargaan kita terhadap karya tangan Allah yang kreatif dan mengagumkan.
No comments:
Post a Comment