Perbedaan Emosional dan Intelektual antara Laki – Laki dan Perempuan
oleh Patricia Elena, 0906643212
Manusia memiliki beragam potensi, antara lain potensi berpikir, spiritual, emosi, fisik, dan potensi sosial. Perempuan berbeda secara fisik dengan laki – laki, tetapi bukan berarti bahwa mereka berbeda secara intelektual.
Untuk menjawab kesetaraan antara laki – laki dan perempuan, ada pendapat yang mengatakan bahwa perempuan harus bekerja. Hanya melalui pekerjaan, perempuan dapat menentukan diri sendiri. Selain itu, perempuan perlu menjadi kaum intelektual sebab aktivitas intelektual lebih bersifat aktif dan menjadinya lebih sebagai subjek daripada objek. Hubungan antara pria dan wanita adalah perjalanan mencari kerja sama antara keduanya.
Laki – laki mempunyai karakter sangat agresif, independen, dapat menyembunyikan emosi, lebih objektif, tidak mudah terpengaruh, sangat menyukai pengetahuan eksakta, tidak mudah goyah terhadap krisis, lebih aktif, lebih kompetitif, jarang menangis, tampil sebagai pemimpin, lebih bebas berbicara, dan lain – lain. Sedangkan perempuan mempunyai karakter tidak terlalu agresif, lebih emosional, kurang menyenangi eksakta, mudah goyah menghadapi krisis, tidak umum tampil sebagai pemimipin, kurang bebas berbicara, lebih subjektif, tidak mudah terpengaruh, dan lain – lain.
Anggapan bahwa laki – laki lebih kuat, lebih cerdas, dan emosinya lebih stabil, sementara perempuan lemah, kurang cerdas, dan emosinya kurang stabil, hanyalah stereotip gender. Para feminin menunjuk beberapa faktor yang dianggap sebagai agen pemasyarakatan stereotip gender, antara lain pengaruh bahasa, suasana keluarga, kehidupan ekonomi, dan suasana sosial – politik. Padahal di sejumlah masyarakat primitif pernah ditemukan peran gender yang seimbang antara laki – laki dan perempuan. Begitu juga ahli genetika pun mengakui bahwa manusia adalah makhluk biologis yang mempunyai karakteristik tersendiri, perkembangan kesadaran dan kecerdasannya tidak semata – mata ditentukan oleh faktor genetika melainkan juga faktor lingkungan.
Akibat adanya stereotype ini banyak tindakan yang seolah – olah sudah merupakan kodrat. Misalnya, karena secara sosial budaya laki – laki dikonstruksikan sebagai orang yang kuat, sementara itu perempuan sudah terlanjur mempunyai label lemah lembut, sehingga rang tua dalam mendidik anak seolah – olah memang mengarahkan perempuan menjadi lemah lembut. Dengan demikian, perempuan, karena anggapan stereotype ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran dalam pekerjaan rumah tangga. Di lain pihak, laki – laki tidak diwajibkan secara cultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestic itu.
Dengan berkembangnya wawasan kemitrasejajaran berdasarkan pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, peran perempuan mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun, perlu dicermati bahwa perkembangan perempuan tidaklah “mengubah” peranannya yang “lama”, yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga (peran domestic dan reproduktif). Oleh sebab itu, perkembangan peranan perempuan ini sifatnya menambah, dan umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
http://artikel.sabda.org/feminisme (Jumat, 5 Maret 2010. Pukul 15.57)
http://fib.ugm.ac.id/index.php?action=news.detail&id_news=57 (Jumat, 5 Maret 2010. Pukul 16.00)
http://www.iai-tribakti.ac.id (Jumat 5 Maret 2010. Pukul 16.15)
No comments:
Post a Comment